![]() |
Kantor FIF Kita Singkawang |
π¦ππ‘ππππͺππ‘π, π―πΌπΏπ±π²πΏππ.πΌπ»πΉπΆπ»π² – Dalam situasi yang sedang berkembang terkait pemberitaan dan klaim atas status wartawan, Dewan Pers menegaskan bahwa tidak ada hak siapapun, termasuk media manapun, untuk menyebut seseorang sebagai wartawan "abal-abal" tanpa dasar dan tanpa memenuhi ketentuan hukum yang berlaku.
Berangkat dari sebuah media yang tidak disebutkan namanya, yang menyampaikan klarifikasi terkait pemberitaan di Kota Singkawang tentang keberadaan wartawan yang diduga "abal-abal", Roby Sanjaya, SH., pendiri Lembaga Bantuan Hukum Rakyat Khatulistiwa (LBH-RAKHA) dan juga pengacara, angkat bicara. Ia menegaskan bahwa setiap orang atau media tidak memiliki kewenangan untuk menyebut seseorang sebagai wartawan "abal-abal" jika tidak memenuhi ketentuan hukum.
Roby menjelaskan, bahwa saat kejadian di kantor FIF cabang Singkawang pada hari Jumat, 19 September 2025 pukul 09.00 WIB, dirinya berada di tempat dan menyatakan bahwa wartawan yang datang harus memperlihatkan identitas resmi dari perusahaan pers yang memiliki legalitas sesuai Undang-Undang Pers. Ia menegaskan, selama wartawan tersebut memperlihatkan identitas resmi dan mengikuti kode etik jurnalistik, maka tidak ada dasar bagi siapapun untuk menyebutnya sebagai wartawan "abal-abal".
"Dewan Pers hanyalah lembaga pengawas jalannya pers yang sehat dan bebas dari hoaks. Dewan Pers bukan penentu apakah wartawan atau media itu palsu atau tidak. Dalam Undang-Undang Pers Pasal 1 ayat 4 disebutkan bahwa wartawan adalah orang yang secara teratur melakukan kegiatan jurnalistik. Jadi, selama memenuhi ketentuan tersebut, mereka berhak menjalankan profesinya," tegas Roby.
Selain itu, menurut Pasal 7 UU Pers, wartawan yang menjalankan profesinya dengan mematuhi kode etik tidak boleh disebut "abal-abal" tanpa dasar yang jelas. Ia menambahkan, bahwa dalam menjalankan tugasnya, wartawan maupun jurnalis dilindungi secara hukum oleh UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Bahkan, Roby menegaskan bahwa pihak yang menghalangi tugas wartawan dapat dikenai sanksi pidana sesuai Pasal 18 ayat (1) UU Pers, yang menyebutkan ancaman hukuman penjara maksimal 2 tahun atau denda hingga Rp 500 juta.
Lebih jauh, Roby juga menyampaikan bukti rekaman suara berdurasi lebih dari 45 menit dan video yang menunjukkan bahwa Kepala Debt Collector PT. FIFGROUP cabang Singkawang, Andika, menyebut wartawan sebagai "abal-abal" karena tidak memiliki surat kuasa dari korban yang motornya dirampas. Menurut Roby, pernyataan tersebut sudah dilaporkan ke Kepolisian Resor Singkawang dan menyerahkan sepenuhnya kepada proses hukum yang berlaku.
"Ini adalah bentuk penghinaan dan penghargaan terhadap profesi wartawan yang harus dilindungi. Tidak ada dasar hukum bagi siapapun untuk menyebut wartawan 'abal-abal'. Jika ada pihak yang merasa dirugikan, silakan ikuti proses hukum yang berlaku," tutup Roby.
Dewan Pers menegaskan, setiap warga negara maupun pihak lain harus memahami bahwa penghormatan terhadap profesi wartawan adalah bagian dari upaya menjaga kebebasan dan independensi pers di Indonesia. Tidak ada tempat untuk sebutan yang merendahkan tanpa dasar yang jelas dan sah secara hukum.
Sumber Ketua LBH-Rakha & Lawyer Roby Sanjaya,SH.
Rep: Arie.P/jbs